Rabu, 19 Desember 2012


SOLUSI MASALAH PENGGELAPAN DANA PROYEK
Mengenai  masalah kepala desa  yang diduga oleh warganya telah menggelapkan uang proyek atau terkait laporan pertanggung jawaban (LPj) fiktif dan oleh warga telah dilaporkan ke kejaksaan tinggi setempat. Laporan pertanggungjawaban fiktif tersebut diantaranya  proyek belanja perbaikan jembatan titian tahun 2009, bantuan bandon air 2009, biaya penimbunan gang halaman TK 2011, bantuan perawatan jalan titian 2011, biaya operasional air bersih 2011, biaya bantuan kursi rapat 2011, biaya pembuatan SKT 353 lembar, dan 145  lembar diantaranya tidak dilaksanakan.Pihak pelapor meminta agar kejaksaan tinggi kalteng dapat menindaklanjuti hal laporan tersebut.
Menanggapi hal tersebut diatas menurut saya solusinya itu masih berkembang, mengapa?? Saya bilang masih berkembang,  Karena masalah tersebut masih dalam tahap dugaan  dan hasil dari pihak kejaksaan tinggi juga belum ada atas laporan warga  tersebut. Untuk kita menetapkan kades tersebut sebagai pelaku juga masih kabur, memang kalau berdasarkan tuduhan sudah pasti bersalah tapi kitakan menuggu proses hukum. Kalau memang  hasil  proses hukum yang dilakukan oleh kejaksaan terbukti bahwa kades tersebut  bersalah berarti hanya ada satu solusi yakni turukan kades tersebut dari jabatannya secara tidak hormat  karena dianggap bersalah dan telah merugikan .
Jika kades tersebut terbukti bersalah dan telah diturunkan dari jabatannya, hal tersebut merupakan   yang  terbaik  sekaligus bermanfaat yakni memberikan contoh kepada kades-kades daerah lain agar tidak melakukan hal-hal seperti  itu dan  tidak melenceng dari  tugas seorang kades, yakni melayani, mengayomi dan menyampaikan aspirasi warga.

Jumat, 23 November 2012

Mengapa Korupsi Masih Dan Terus Terjadi




TUGAS KELOMPOK
PENDIDIKAN ANTI KORUPSI



Disusun Oleh       :
1.Heriyanto          1161201000883
2.Fahrunisa         1161201000969
3.Halimah            1161201000901
4.Yuli  Agustina   1161201000949



UNIVERSITAS DARWAN ALI
FAKULTAS EKONOMI
2012
PENDAHULUAN
            Seorang pemimpin harus dapat menjadi suri tauladan bagi orang-orang dipimpin. Dia harus dapat melaksanakan tugasnya dengan penuh tanggung jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela. Dia pun harus menjalankan amanat tanpa pamrih bagi kepentingan, keluarga atau kelompoknya saja.Oleh karana itu dia harus menghindari perbuatan korupsi
Pengertian Korupsi
            Akhir – akhir ini kita sering mendengar perihal pemberantasan korupsi. Apa sebenarnya korupsi itu ?  Menurut undang – undang No.28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari korupsidijelaskan sebagai berikut:
            Korupsi adalah tindakan pidana yang dilakukan oleh orang yang secara sengaja melawan hukum dengan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lainyang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
            Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya.
            Korupsi menurut “Transparency International” adalah perilaku pejabat publik, baik politikus politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang di percayakankepada mereka.
Korupsi menurut “Kamus Besar Bahasa Indonesia” adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain.
Bentuk – Bentuk Korupsi
            a.Kerugian uang Negara
            b.Suap Menyuap
            c.Penggelapan Dalam Jabatan
            d.Pemerasan
            e.Perbuatan Curang
            f.Benturan Kepentingan Dalam

Wujud Perilaku Korupsi
            Korupsi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur, busuk, bejat, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian dengan jalan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri dan merugikan pemerintah atau perusahaan tempat ia bekerja. Jadi tindak korupsi dapat dilakukan oleh semua orang, baik yang bekerja sebagai pegawai negeri atau pegawai swasta.Contoh tindak korupsi dalah dengan mengambil keuntungan dengan menaikan nilai rupiah dalam satuan pembelian barang atau kegiantan proyek. Selisih rupiah tersebut diambil untuk kepantingan pribadi
Konsekuensi Perilaku Korupsi
            Perilaku korupsi adalah perilaku jahat.Tentu ada konsekuensi dari tindakan tersebut, baik bagi pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat, bangsa, dan Negara.
            Konsekuensi pelaku tindakan korupsi adalah sangsi atau human yang berat. Selain itu pelaku juga akan menuai sangsi sosial. Mereka dapat dihujat oleh masyarakat, bahkan dapat ditolak atau diusir dari negaranya.
Sementara itu, akibat bagi Negara dai prilaku korupsi adalah sebagai berikut :
a.Negara dirugikan dan terancam menjadi Negara miskin.
b.Bertambahnya utang luar negeri.
c.Timbulnya Kesenjangan ekonomi.
d.Menimbulkan kecemburuan social
e.Timbulnya sikap apatis masyarakat terhadap Negara

Siapa yang wajib berupaya menanggulangi korupsi.korupsi akan dapat diberantas jika semua pihak mempunyai keinginan yang sama untuk memberantasnya. Pihak yang perlu turut berperan  dalam mengatasi masalah korupsi adalah Negara (melaui badan – badan resmi), penegak hukum dan masyarakat (melalui organisasi atau perorangan.
Budaya Korupsi Di Indonesia
Suharto telah menapakkan kekuasaanya pada fase saat korupsi telah menjadi budaya. Apa yang terjadi setelah 35 tahun pemerintahannya adalah sebuah proses penguatan untuk menjadi sebuah peradaban. Kata “membudaya” memberikan pemahaman bahwa perilaku korupsi ini telah masuk dalam struktur kesadaran masyarakat sebagai proses wajar dan tak terbantahkan oleh relasi sosial, politik, dan ekonomi. Karena korupsi secara kultural telah menjadi bagian struktur kesadaran dan budaya masyarakat Indonesia, sikap anti korupsi dipahami sebagai anti atau memerangi budaya sendiri. Korupsi di Indonesia saat ini semakin terbongkar kriminalitasnya, dimana kasus-kasus tersebut seringkali diberitakan media massa, sehingga perspektif masyarakat terhadap kinerja pemerintah buruk dan kurang mempercayai pengelolaan Negara.
Sejarah Korupsi Di Indonesia
            Korupsi di Indonesia sudah 'membudaya' sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari api
   a.Era Sebelum Indonesia Merdeka
Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh "budaya-tradisi korupsi" yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi terjalin  dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan: Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda dan seterusnya sampai terjadinya beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di Indonesia.
Umumnya para Sejarawan Indonesia belum mengkaji sebab ekonomi mengapa mereka saling berebut kekuasaan. Secara politik memang telah lebih luas dibahas, namun motif ekonomi - memperkaya pribadi dan keluarga diantara kaum bangsawan - belum nampak di permukaan "Wajah Sejarah Indonesia".
Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya. Sriwijaya diketahui berakhir karena tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan sepeninggal Bala-putra Dewa. Majapahit diketahui hancur karena adanya perang saudara (perang paregreg) sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Sedangkan Mataram
Benar bahwa penyebab pecah dan lemahnya Mataram lebih dikenal karena faktor intervensi dari luar, yaitu campur tangan VOC di lingkungan Kerajaan Mataram. Namun apakah sudah ada yang meneliti bahwa penyebab utama mudahnya bangsa asing (Belanda) mampu menjajah Indonesia sekitar 350 tahun (versi Sejarah Nasional?), lebih karena perilaku elit bangsawan yang korup, lebih suka memperkaya pribadi dan keluarga, kurang mengutamakan aspek pendidikan moral, kurang memperhatikan "character building", mengabaikan hukum apalagi demokrasi Terlebih lagi sebagian besar penduduk di Nusantara tergolong miskin, mudah dihasut provokasi atau mudah termakan isu dan yang lebih parah mudah diadu domba.
Belanda memahami betul akar "budaya korup" yang tumbuh subur pada bangsa Indonesia, maka melalui politik "Devide et Impera" mereka dengan mudah menaklukkan Nusantara! Namun, bagaimanapun juga Sejarah Nusantara dengan adanya intervensi dan penetrasi Barat, rupanya tidak jauh lebih parah dan penuh tindak kecurangan, perebutan kekuasaan yang tiada berakhir, serta "berintegrasi' seperti sekarang. Gelaja korupsi dan penyimpangan kekusaan pada waktu itu masih didominasi oleh kalangan bangsawan, sultan dan raja, sedangkan rakyat kecil nyaris "belum mengenal" atau belum memahaminya.
Perilaku "korup" bukan hanya didominasi oleh masyarakat Nusantara saja, rupanya orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda pun gemar "mengkorup" harta institusi atau pemerintahannya. Kita pun tahu kalau penyebab hancur dan runtuhnya VOC juga karena korupsi. Lebih dari 200 orang pengumpul Liverantie dan Contingenten di Batavia kedapatan korup dan dipulangkan ke negeri Belanda. Lebih dari ratusan bahkan kalau diperkirakan termasuk yang belum diketahui oleh pimpinan Belanda hampir mencapai ribuan orang Belanda juga gemar korup.
Alasan mereka dapat mengkorup, karena satuan hitung belum ada yang standar, di samping rincian barang-barang yang pantas dikenai pajak juga masih kabur. Sebagai contoh, upeti dikenakan untuk hasil-hasil pertanian seperti Kelapa, Padi, dn Kopi. Namun ukuran dan standar upeti di beberapa daerah juga berbeda-beda baik satuan barang, volume dan beratnya, apalagi harganya. Beberapa alasan itulah yang mendorong atau menye-babkan para pengumpul pajak cenderung berperilaku "memaksa" rakyat kecil, di pihak lain menambah "beban" kewajiban rakyat terhadap jenis atau volume komoditi yang harus diserahkan.
Kebiasaan mengambil "upeti" dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 - 1942) minus Zaman Inggris (1811 - 1816), Akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda. Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro (1825 -1830), Imam Bonjol (1821 - 1837), Aceh (1873 - 1904) dan lain-lain. Namun, yang lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi (rakyat Indonesia yang terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem "Cuituur Stelsel (CS)" yang secara harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sistem itu adalah membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat memprihatinkan.
Isi peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS sebenarnya sangat "manusiawi" dan sangat "beradab", namun pelaksanaan atau praktiknyalah yang sangat tidak manusiawi, mirip Dwang Stelsel (DS), yang artinya "Sistem Pemaksaan". Itu sebabnya mengapa sebagian besar pengajar, guru atau dosen sejarah di Indonesia mengganti sebutan CS menjadi DS. mengganti ungkapan "Sistem Pembudayaan" menjadi "Tanam Paksa".

  b. Era Pasca Kemerdekaan

Bagaimana sejarah "budaya korupsi" khususnya bisa dijelaskan? Sebenarnya "Budaya korupsi" yang sudah mendarah daging sejak awal sejarah Indonesia dimulai seperti telah diuraikan di muka, rupanya kambuh lagi di Era Pasca Kemerdekaan Indonesia.
   Bagaimana sejarah "budaya korupsi" khususnya bisa dijelaskan? Sebenarnya "Budaya korupsi" yang sudah mendarah daging sejak awal sejarah Indonesia dimulai seperti telah diuraikan di muka, rupanya kambuh lagi di Era Pasca Kemerdekaan Indonesia, baik di Era Orde Lama maupun di Era Orde Baru.
Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat masih belum melihat kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi. Ibarat penyakit, sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya, namun obat mujarab untuk penyembuhan belum bisa ditemukan.
Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi - Paran dan Operasi Budhi - namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan - istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.
Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah (Kabinet Juanda).
Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.
Lembaga ini di kemudian hah dikenal dengan istilah "Operasi Budhi". Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan.
Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor, "prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain".
Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.

   c.Era Orde Baru

Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya "macan ompong" karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.
Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.

        d. Era Reformasi

Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya "korupsi" lebih banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit "Virus Korupsi" yang sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara murni, kecuali secara "konkesuen" alias "kelamaan".
Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman, Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).
Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya. pemberantasan KKN.
Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat tinggi.
Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat Sofyan Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur lengser, Mega pun menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi politik. Laksamana Sukardi sebagai Menneg BUMN tak luput dari pembicaraan di masyarakat karena kebijaksanaannya menjual aset-aset negara.
Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi, Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era Reformasi.
Pelajaran apa yang bisa ditarik dari uraian ini? Ternyata upaya untuk memberantas korupsi tidak semudah memba-likkan tangan. Korupsi bukan hanya menghambat proses pembangunan negara ke arah yang lebih baik, yaitu peningkatan kesejahteraan serta pengentasan kemiskinan rakyat. Ketidakberdayaan hukum di hadapan orang kuat, ditambah minimnya komitmen dari elit pemerintahan rnenjadi faktor penyebab mengapa KKN masih tumbuh subur di Indonesia. Semua itu karena hukum tidak sama dengan keadilan, hukum datang dari otak manusia penguasa, sedangkan keadilan datang dari hati sanubari rakyat. (amanahonline)
PEMBAHASAN
Mengapa Korupsi Masih Terjadi Di Indonesia
          Korupsi dari segi bahasa berarti busuk, rusak, menyogok. Sedangkan secara istilah dapat diartikan perbuatan melawan hukum dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, dan sarana guna memperkaya diri sendiri, orang lain, atau kelompok yang berakibat kerugian keuangan atau perekonomian negara atau kelompoknya. Korupsi di Indonesia telah terjadi sejak jaman kerajaan-kerajaan berkuasa di Indonesia hingga kini dimana Indonesia telah menjadi negara berdaulat dan merdeka selama 65 tahun.
Pada masa-masa kerajaan korupsi terlihat dari tumbangnya kerajaan-kerajaan besar contohnya: Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, dan Kerajaan Mataram. Kerajaan Sriwijaya berakhir karena tidak adanya pemimpin yang cakap sepeninggal Balaputra Dewa , Kerajaan Majapahit hancur karena perang saudara sepeninggal Mahapatih Gajah Mada, lalu Kerajaan Mataram terpecah belah karena diadu domba oleh VOC. Hal ini menunjukan pemimpin jaman dulu juga lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada kepentingan kerajaannya. Setelah masa kerajaan usai nusantara dikuasai oleh VOC yang juga memiliki peranan dalam budaya korupsi di Indonesia , mereka hancur karena korupsi para elitnya yang menggerogoti dari dalam. Pada masa kemerdekaan pun tidak luput dari tindak korupsi contohnya kasus korupsi Ruslan Abdulgani yang menyebabkan dibredelnya koran Indonesia Raya karena meliput kasus ini. Pada masa orde baru korupsi semakin jelas terjadi, rakyat memang merasakan kemakmuran akan tetapi utang negara semakin menjulang tinggi bahkan sampai saat ini belum dapat terlunasi dan banyak sumberdaya alam potensial indonesia digadaikan pada pihak asing. Pada masa reformasi hingga sekarang korupsi juga belum juga dapat diatasi bahkan malah timbul banyak korupsi gaya baru seperti kasus BLBI, kasus Bank Century, kasus Gayus, dan kasus-kasus lainnya.
Jika ada pertanyaan mengapa korupsi sampai saat ini masih saja terus terjadi? Akan timbul banyak jawaban yang saling berkaitan seperti sistem pemerintahan Indonesia, hukum yang kurang tegas, aparat penegak hukum yang korup, dan mental para pemimpin yang buruk. Keempat hal tersebut tidak dapat dipisahkan dan harus di benahi seluruhnya bila ingin mengurangi dan menghilangkan tindak korupsi di Indonesia.
Sistem pemerintahan demokrasi yang dianut Indonesia memang sangat rentan terhadap terjadinya korupsi karena banyak pihak yang dapat memepengaruhi pemerintahan, contohnya hak prerogratif presiden dalam membentuk kabinet, presiden dapat memilih orang-orang yang mau mendukungnya secara materiil sebagai menteri padahal orang tersebut belum tentu mampu menjalankan tugasnya dan bahkan akan mencari keuntungan dari jabatanya untuk mengembalikan dana yang telah ia sumbangkan kepada presiden saat pemilihan presiden, lalu lembaga pengawas pemerintahan yaitu DPR juga sangat mungkin melakukan korupsi saat merumuskan atau merubah suatu undang-undang. Dan pengawasan DPR terhadap pemerintah juga sangat lemah sehingga pemerintah masih sangat mungkin melakukan korupsi.
                Hukum pidana tentang tindak pidana korupsi yang diatur dalam KUHP dinilai masih sangat lemah. Memang tidak perlu sampai diberlakukan hukuman mati bagi koruptor seperti yang di berlakukan di Negara China, tapi untuk tindak pidana korupsi yang merugikan negara dalam jumlah besar seharusnya diberi hukuman seumur hidup dan tanpa remisi ataupun grasi. Agar terjadi efek jera dan juga sebagai pelajaran bagi pejabat-pejabat baru.
Selain hukum yang masih lemah terjadinya korupsi di Indonesia juga didukung dengan aparat hukum yang korup mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, hingga Pengadilan. Kepolisian bisa menghentikan penyelidikan bila koruptor mampu menyuapnya. Dan apabila tidak, Kejaksaan dapat mengeluarkan Surat Pemberhentian Penyidikan Perkara (SP3) bila ada uang suap dari koruptor. Apabila masih berlanjut ke Pengadilan vonis yang jatuh pasti akan ringan bahkan bebas bila hakim berhasil disuap . Hal ini menyebabkan mudahnya para pejabat yang terjerat kasus korupsi untuk membebaskan diri dari jeratan hukum dengan jalan menyuap dari hasil uang korupsi. Sehingga sebanyak apapun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melimpahkan kasus korupsi ke pihak kepolisian akan menjadi percuma. Bahkan beberapa waktu lalu ada upaya pelemahan KPK oleh institusi hukum lain yang takut diselidiki mengenai kasus korupsi di dalamnya.
Mental para pemimpin dan pejabat yang ada di Indonesia sebenarnya merupakan faktor terpenting yang menyebabkan korupsi masih terjadi hingga saat ini. Kebanyakan pemimpin dan pejabat yang memimpin saat ini adalah hasil didikan pada masa orde baru yang sangat korup sehingga mental mereka masihlah mental korup. Dan sepertinya korupsi masih akan terus terjadi apabila para pemimpin masih berasal dari generasi pemimpin saat ini.
Bagaimana Cara Untuk Mengatasi Korupsi Di Indonesia
            Ada beberapa cara untuk mengatasi korupsi di Indonesia yaitu :
a.Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial, dengan tidak bersifat acuh tak acuh. Kesadaran rakyat dalam memilih pemimpin sesuai dengan hati nurani yang dianggap paling baik dan tidak menerima suap merupakan salah satu langkah untuk menghindari adanya kasus korupsi.
b.Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu dengan mengutamakan kepentingan nasional. Penanaman nasionalisme sejak dini pada generasi penerus bangsa juga sangat diperlukan agar mereka mencintai bangsa dan Negara Indonesia diatas kepentingan sendiri sehingga kelak jika menjadi pemimpin ia akan menjadi sesosok pemimpin yang memikirkan bangsa Indonesia diatas kepentingan pribadinya.
c.Para pemimpin dan pejabat memberikan tauladan, memberantas dan menindak korupsi. Para pemimpin saat ini haruslah menjadi tauladan yang baik bagi penerus bangsa, yaitu sesosok pemimpin yang jujur, adil, dan anti korupsi, serta berupaya keras dalam membongkar dan memberikan sanksi yang tegas kepada para pelaku korupsi, bukan malah sebaliknya.
d.Adanya sangsi kekuatan untuk menindak, memberantas, dan menghukum tindak korupsi. Sanksi yang tegas dan tidak memihak memang sangat diperlukan dalam menangani kasus korupsi di  Indonesia. Para pelaku korupsi harus dijatuhi hukuman setimpal yang dirasa dapat memberikan efek jera takut  baik bagi pelaku maupun orang lain yang akan melakukan tindakan korupsi.
e.Pentingnya ajaran agama, kasus korupsi seperti sekarang ini sebenarnya tidak akan terjadi apabila semua pemimpin atau birokrasi pemerintahan mempunyai landasan agama yang kuat. Dalam semua ajaran agama pastinya melarang perbuatan korupsi. Korupsi sama saja dengan mencuri, mencuri uang rakyat dan menyengsarakan mereka. Hal tersebut memrupakan perbuatan dosa yang dapat membawa kita kelembah kesengsaraan yaitu neraka. Darah dan tubuh dari pelaku korupsi beserta anggota keluarga yang menikmati harta hasil korupsi tersebut telah tercemari oleh makanan haram hasil korupsi yang tidak akan berkah dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Jika seseorang memiliki landasan agama yang kuat, mereka pasti tahu dan akan takut melakukan perbuatan korupsi sehingga secara otomatis mereka akan menjauhi perilaku ini dengan  sendirinya tanpa perlu adanya paksaan dan pengawasan khusus, sebab mereka telah merasa diawasi Tuhan Yang Maha Kuasa. Maka dari itu pendidikan agama  dan penanaman iman dan takwa sangat diperlukan guna mengurangi atau bahkan menghilangkan terjadinya kasus korupsi yang sekarang ini kian merajalela di Indonesia.
f.Pentingnya peran pendidikan, terlepas dari masalah korupsi itu sebagai budaya atau bukan yang  jelas peran pendidikan akan dapat membantu menigkatkan ketahanan masyarakat dalam menghadapi dan memberantas korupsi. Pendidikan merupakan intrumen penting dalam pembangunan bangsa baik sebagai pengembang dan peningkat produktifitas nasional maupun sebagai pembentuk karakter bangsa. Buruknya manusia dapat tranformasikan kedalam hal yang positif melalui pendidikan, karena pendidikan ialah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara       
PENUTUP
Kesimpulan
Korupsi yang terjadi di Indonesia disebabkan mental pemimpin yang buruk. Jadi walaupun sebaik apapun sistem pemerintahan, setegas apapun hukum, dan sebersih apapun aparat akan percuma bila mental pemimpin dan pejabat negeri ini masih buruk dan korupsi pasti masih akan terus lestari. Untuk itu sekarang kita harus menyadarkan para pemimpin untuk memperbaiki mentalnya, dan apabila sudah tidak dapat diperbaiki maka sebaiknya untuk diganti dengan pemimpin yang amanah dan bermental baik serta siap susah demi rakyat. Kita sebagai generasi muda calon pemimpin bangsa sudah seharusnya menjaga hati dan mental agar tetap jujur dan tidak berubah menjadi mental koruptor.
Harapan
            Kita sebagai mahasiswa (tidak semua orang bisa  menuntut ilmu diperguruan tinggi)  harus bersukur dan bersungguh-sungguh dalam menutut ilmu kita, karena ditangan kitalah nasib  negara ini mau dibawa kearah mana, apakah menjadi Negara yang menempati pringkat tertinggi di dunia dalam prestasi atau malah menjadikan negara ini lebih korup dari yang sekarang ini.
Dengan kita belajar pendidikan anti korupsi diharapkan kita dapat mempelajari, memahami, mencegah, serta tidak melakukan tindak korupsi. Dengan begitu generasi muda dimasa yang akan datang akan memiliki mental dan moral  yang baik diantara penerapannya sebagai pemimpin dan lain-lain, bukan mental atau moral koruptor seperti dalam sejarah korupsi Indonesia yang membudaya sejak dahulu sebelum dan sesudah kemerdekaan ,diera orde lama, orde baru dan era reformasi.