PENDIDIKAN ANTI KORUPSI
Disusun
Oleh :
1.Heriyanto 1161201000883
2.Fahrunisa 1161201000969
3.Halimah 1161201000901
4.Yuli Agustina 1161201000949
UNIVERSITAS
DARWAN ALI
FAKULTAS
EKONOMI
2012
PENDAHULUAN
Seorang pemimpin harus dapat menjadi
suri tauladan bagi orang-orang dipimpin. Dia harus dapat melaksanakan tugasnya
dengan penuh tanggung jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela. Dia pun
harus menjalankan amanat tanpa pamrih bagi kepentingan, keluarga atau
kelompoknya saja.Oleh karana itu dia harus menghindari perbuatan korupsi
Pengertian
Korupsi
Akhir – akhir ini kita sering mendengar perihal
pemberantasan korupsi. Apa sebenarnya korupsi itu ? Menurut undang – undang No.28 Tahun 1999
tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari korupsidijelaskan
sebagai berikut:
Korupsi adalah tindakan pidana yang
dilakukan oleh orang yang secara sengaja melawan hukum dengan melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lainyang dapat merugikan keuangan
Negara atau perekonomian Negara.
Dalam arti
yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi
untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi
dalam prakteknya.
Korupsi menurut “Transparency International” adalah perilaku pejabat
publik, baik politikus politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar
dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya,
dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang di percayakankepada mereka.
Korupsi
menurut “Kamus Besar Bahasa Indonesia” adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara
atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain.
Bentuk
– Bentuk Korupsi
a.Kerugian uang Negara
b.Suap Menyuap
c.Penggelapan Dalam Jabatan
d.Pemerasan
e.Perbuatan Curang
f.Benturan Kepentingan Dalam
Wujud Perilaku Korupsi
Korupsi merupakan sikap dan
perbuatan tidak jujur, busuk, bejat, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang
dari kesucian dengan jalan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri
sendiri dan merugikan pemerintah atau perusahaan tempat ia bekerja. Jadi tindak
korupsi dapat dilakukan oleh semua orang, baik yang bekerja sebagai pegawai
negeri atau pegawai swasta.Contoh tindak korupsi dalah dengan mengambil
keuntungan dengan menaikan nilai rupiah dalam satuan pembelian barang atau
kegiantan proyek. Selisih rupiah tersebut diambil untuk kepantingan pribadi
Konsekuensi
Perilaku Korupsi
Perilaku korupsi adalah perilaku jahat.Tentu ada konsekuensi
dari tindakan tersebut, baik bagi pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat,
bangsa, dan Negara.
Konsekuensi pelaku tindakan korupsi
adalah sangsi atau human yang berat. Selain itu pelaku juga akan menuai sangsi
sosial. Mereka dapat dihujat oleh masyarakat, bahkan dapat ditolak atau diusir
dari negaranya.
Sementara itu,
akibat bagi Negara dai prilaku korupsi adalah sebagai berikut :
a.Negara
dirugikan dan terancam menjadi Negara miskin.
b.Bertambahnya
utang luar negeri.
c.Timbulnya
Kesenjangan ekonomi.
d.Menimbulkan
kecemburuan social
e.Timbulnya
sikap apatis masyarakat terhadap Negara
Siapa
yang wajib berupaya menanggulangi korupsi.korupsi akan dapat diberantas jika
semua pihak mempunyai keinginan yang sama untuk memberantasnya. Pihak yang
perlu turut berperan dalam mengatasi
masalah korupsi adalah Negara (melaui badan – badan resmi), penegak hukum dan
masyarakat (melalui organisasi atau perorangan.
Budaya Korupsi Di Indonesia
Suharto telah menapakkan kekuasaanya pada fase saat
korupsi telah menjadi budaya. Apa yang terjadi setelah 35 tahun pemerintahannya
adalah sebuah proses penguatan untuk menjadi sebuah peradaban. Kata “membudaya”
memberikan pemahaman bahwa perilaku korupsi ini telah masuk dalam struktur
kesadaran masyarakat sebagai proses wajar dan tak terbantahkan oleh relasi
sosial, politik, dan ekonomi. Karena korupsi secara kultural telah menjadi
bagian struktur kesadaran dan budaya masyarakat Indonesia, sikap anti korupsi
dipahami sebagai anti atau memerangi budaya sendiri. Korupsi di Indonesia saat
ini semakin terbongkar kriminalitasnya, dimana kasus-kasus tersebut seringkali
diberitakan media massa, sehingga perspektif masyarakat terhadap kinerja
pemerintah buruk dan kurang mempercayai pengelolaan Negara.
Sejarah
Korupsi Di Indonesia
Korupsi
di Indonesia sudah 'membudaya' sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di
era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah
dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari
api
a.Era Sebelum Indonesia Merdeka
Sejarah
sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh "budaya-tradisi
korupsi" yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan
dan wanita. Kita dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi terjalin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan
Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan:
Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya), Majapahit
(pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan
Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng
Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda dan seterusnya sampai terjadinya
beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi
dan Kekuasaan di Indonesia.
Umumnya
para Sejarawan Indonesia belum mengkaji sebab ekonomi mengapa mereka saling
berebut kekuasaan. Secara politik memang telah lebih luas dibahas, namun motif
ekonomi - memperkaya pribadi dan keluarga diantara kaum bangsawan - belum
nampak di permukaan "Wajah Sejarah Indonesia".
Sebenarnya
kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah
karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya. Sriwijaya
diketahui berakhir karena tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan
sepeninggal Bala-putra Dewa. Majapahit diketahui hancur karena adanya perang
saudara (perang paregreg) sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Sedangkan Mataram
Benar
bahwa penyebab pecah dan lemahnya Mataram lebih dikenal karena faktor
intervensi dari luar, yaitu campur tangan VOC di lingkungan Kerajaan Mataram.
Namun apakah sudah ada yang meneliti bahwa penyebab utama mudahnya bangsa asing
(Belanda) mampu menjajah Indonesia sekitar 350 tahun (versi Sejarah Nasional?),
lebih karena perilaku elit bangsawan yang korup, lebih suka memperkaya pribadi
dan keluarga, kurang mengutamakan aspek pendidikan moral, kurang memperhatikan
"character building", mengabaikan hukum apalagi demokrasi Terlebih
lagi sebagian besar penduduk di Nusantara tergolong miskin, mudah dihasut
provokasi atau mudah termakan isu dan yang lebih parah mudah diadu domba.
Belanda
memahami betul akar "budaya korup" yang tumbuh subur pada bangsa
Indonesia, maka melalui politik "Devide et Impera" mereka dengan
mudah menaklukkan Nusantara! Namun, bagaimanapun juga Sejarah Nusantara dengan
adanya intervensi dan penetrasi Barat, rupanya tidak jauh lebih parah dan penuh
tindak kecurangan, perebutan kekuasaan yang tiada berakhir, serta
"berintegrasi' seperti sekarang. Gelaja korupsi dan penyimpangan kekusaan
pada waktu itu masih didominasi oleh kalangan bangsawan, sultan dan raja,
sedangkan rakyat kecil nyaris "belum mengenal" atau belum
memahaminya.
Perilaku
"korup" bukan hanya didominasi oleh masyarakat Nusantara saja,
rupanya orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda pun gemar
"mengkorup" harta institusi atau pemerintahannya. Kita pun tahu kalau
penyebab hancur dan runtuhnya VOC juga karena korupsi. Lebih dari 200 orang
pengumpul Liverantie dan Contingenten di Batavia kedapatan korup dan
dipulangkan ke negeri Belanda. Lebih dari ratusan bahkan kalau diperkirakan
termasuk yang belum diketahui oleh pimpinan Belanda hampir mencapai ribuan
orang Belanda juga gemar korup.
Alasan
mereka dapat mengkorup, karena satuan hitung belum ada yang standar, di samping
rincian barang-barang yang pantas dikenai pajak juga masih kabur. Sebagai
contoh, upeti dikenakan untuk hasil-hasil pertanian seperti Kelapa, Padi, dn
Kopi. Namun ukuran dan standar upeti di beberapa daerah juga berbeda-beda baik
satuan barang, volume dan beratnya, apalagi harganya. Beberapa alasan itulah
yang mendorong atau menye-babkan para pengumpul pajak cenderung berperilaku
"memaksa" rakyat kecil, di pihak lain menambah "beban"
kewajiban rakyat terhadap jenis atau volume komoditi yang harus diserahkan.
Kebiasaan
mengambil "upeti" dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa
ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 - 1942) minus Zaman
Inggris (1811 - 1816), Akibat kebijakan itulah banyak terjadi
perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda. Sebut saja misalnya perlawanan
Diponegoro (1825 -1830), Imam Bonjol (1821 - 1837), Aceh (1873 - 1904) dan
lain-lain. Namun, yang lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk
pribumi (rakyat Indonesia yang terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia
sendiri. Sebut saja misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem
"Cuituur Stelsel (CS)" yang secara harfiah berarti Sistem
Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sistem itu adalah membudayakan tanaman
produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat dan memberi kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat
memprihatinkan.
Isi
peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS sebenarnya sangat
"manusiawi" dan sangat "beradab", namun pelaksanaan atau
praktiknyalah yang sangat tidak manusiawi, mirip Dwang Stelsel (DS), yang
artinya "Sistem Pemaksaan". Itu sebabnya mengapa sebagian besar
pengajar, guru atau dosen sejarah di Indonesia mengganti sebutan CS menjadi DS.
mengganti ungkapan "Sistem Pembudayaan" menjadi "Tanam
Paksa".
b. Era Pasca Kemerdekaan
Bagaimana
sejarah "budaya korupsi" khususnya bisa dijelaskan? Sebenarnya
"Budaya korupsi" yang sudah mendarah daging sejak awal sejarah
Indonesia dimulai seperti telah diuraikan di muka, rupanya kambuh lagi di Era
Pasca Kemerdekaan Indonesia.
Bagaimana sejarah "budaya korupsi"
khususnya bisa dijelaskan? Sebenarnya "Budaya korupsi" yang sudah
mendarah daging sejak awal sejarah Indonesia dimulai seperti telah diuraikan di
muka, rupanya kambuh lagi di Era Pasca Kemerdekaan Indonesia, baik di Era Orde
Lama maupun di Era Orde Baru.
Titik
tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat masih belum melihat
kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi. Ibarat penyakit,
sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya, namun obat mujarab untuk penyembuhan
belum bisa ditemukan.
Pada
era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan
Pemberantasan Korupsi - Paran dan Operasi Budhi - namun ternyata pemerintah
pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia
Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya,
dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni
Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Salah
satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan
mengisi formulir yang disediakan - istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat
negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir
tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir
itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.
Usaha
Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik
Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas
sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah (Kabinet
Juanda).
Tahun
1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi
kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab
ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas
mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.
Lembaga
ini di kemudian hah dikenal dengan istilah "Operasi Budhi".
Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara
lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata
juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut
Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar
negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum
mendapat izin dari atasan.
Dalam
kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat
diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan
untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya
Operasi Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor,
"prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang
lain".
Selang
beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran Paran/Operasi Budhi
yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling
Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh
Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan
korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.
c.Era Orde Baru
Pada
pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Presiden
Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi
sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi
isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya.
Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan
Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
Tahun
1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti
komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes
keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina,
Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang
korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa,
akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan
tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ
Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah
membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust,
Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya "macan ompong" karena
hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.
Ketika
Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi
Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya
melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu
ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan
Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi,
Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus
dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar
memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang
ditiup angin tanpa bekas sama sekali.
d. Era Reformasi
Jika
pada masa Orde Baru dan sebelumnya "korupsi" lebih banyak dilakukan
oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen
penyelenggara negara sudah terjangkit "Virus Korupsi" yang sangat
ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali,
kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan
melakukan koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan DUD 1945
secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama
rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan
secara murni, kecuali secara "konkesuen" alias "kelamaan".
Kemudian,
Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan
berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman,
Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).
Badan
ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin
Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk
rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah
Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran
dalam upaya. pemberantasan KKN.
Di
samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat tidak
bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi.
Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan
bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden,
melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses
tawar-menawar tingkat tinggi.
Proses
pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat Sofyan Wanandi
dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung
Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur lengser,
Mega pun menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi politik.
Laksamana Sukardi sebagai Menneg BUMN tak luput dari pembicaraan di masyarakat
karena kebijaksanaannya menjual aset-aset negara.
Di masa
pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata wibawa hukum semakin
merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa
mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan
berobat ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu
Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari
jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang
utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam
upaya memberantas korupsi, Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi
perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi
kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan
wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era
Reformasi.
Pelajaran
apa yang bisa ditarik dari uraian ini? Ternyata upaya untuk memberantas korupsi
tidak semudah memba-likkan tangan. Korupsi bukan hanya menghambat proses
pembangunan negara ke arah yang lebih baik, yaitu peningkatan kesejahteraan
serta pengentasan kemiskinan rakyat. Ketidakberdayaan hukum di hadapan orang
kuat, ditambah minimnya komitmen dari elit pemerintahan rnenjadi faktor
penyebab mengapa KKN masih tumbuh subur di Indonesia. Semua itu karena hukum
tidak sama dengan keadilan, hukum datang dari otak manusia penguasa, sedangkan
keadilan datang dari hati sanubari rakyat. (amanahonline)
PEMBAHASAN
Mengapa
Korupsi Masih Terjadi Di Indonesia
Korupsi
dari segi bahasa berarti busuk, rusak, menyogok. Sedangkan secara istilah dapat
diartikan perbuatan melawan hukum dengan menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan, dan sarana guna memperkaya diri sendiri, orang lain, atau kelompok
yang berakibat kerugian keuangan atau perekonomian negara atau kelompoknya.
Korupsi di Indonesia telah terjadi sejak jaman kerajaan-kerajaan berkuasa di
Indonesia hingga kini dimana Indonesia telah menjadi negara berdaulat dan
merdeka selama 65 tahun.
Pada masa-masa kerajaan korupsi terlihat dari tumbangnya
kerajaan-kerajaan besar contohnya: Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, dan
Kerajaan Mataram. Kerajaan Sriwijaya berakhir karena tidak adanya pemimpin yang
cakap sepeninggal Balaputra Dewa , Kerajaan Majapahit hancur karena perang
saudara sepeninggal Mahapatih Gajah Mada, lalu Kerajaan Mataram terpecah belah
karena diadu domba oleh VOC. Hal ini menunjukan pemimpin jaman dulu juga lebih
mementingkan kepentingan pribadi daripada kepentingan kerajaannya. Setelah masa
kerajaan usai nusantara dikuasai oleh VOC yang juga memiliki peranan dalam
budaya korupsi di Indonesia , mereka hancur karena korupsi para elitnya yang
menggerogoti dari dalam. Pada masa kemerdekaan pun tidak luput dari tindak
korupsi contohnya kasus korupsi Ruslan Abdulgani yang menyebabkan dibredelnya
koran Indonesia Raya karena meliput kasus ini. Pada masa orde baru korupsi
semakin jelas terjadi, rakyat memang merasakan kemakmuran akan tetapi utang
negara semakin menjulang tinggi bahkan sampai saat ini belum dapat terlunasi
dan banyak sumberdaya alam potensial indonesia digadaikan pada pihak asing.
Pada masa reformasi hingga sekarang korupsi juga belum juga dapat diatasi
bahkan malah timbul banyak korupsi gaya baru seperti kasus BLBI, kasus Bank
Century, kasus Gayus, dan kasus-kasus lainnya.
Jika ada pertanyaan mengapa korupsi sampai saat ini masih
saja terus terjadi? Akan timbul banyak jawaban yang saling berkaitan seperti
sistem pemerintahan Indonesia, hukum yang kurang tegas, aparat penegak hukum
yang korup, dan mental para pemimpin yang buruk. Keempat hal tersebut tidak
dapat dipisahkan dan harus di benahi seluruhnya bila ingin mengurangi dan
menghilangkan tindak korupsi di Indonesia.
Sistem pemerintahan demokrasi yang dianut Indonesia
memang sangat rentan terhadap terjadinya korupsi karena banyak pihak yang dapat
memepengaruhi pemerintahan, contohnya hak prerogratif presiden dalam membentuk
kabinet, presiden dapat memilih orang-orang yang mau mendukungnya secara
materiil sebagai menteri padahal orang tersebut belum tentu mampu menjalankan
tugasnya dan bahkan akan mencari keuntungan dari jabatanya untuk mengembalikan
dana yang telah ia sumbangkan kepada presiden saat pemilihan presiden, lalu
lembaga pengawas pemerintahan yaitu DPR juga sangat mungkin melakukan korupsi
saat merumuskan atau merubah suatu undang-undang. Dan pengawasan DPR terhadap
pemerintah juga sangat lemah sehingga pemerintah masih sangat mungkin melakukan
korupsi.
Hukum
pidana tentang tindak pidana korupsi yang diatur dalam KUHP dinilai masih
sangat lemah. Memang tidak perlu sampai diberlakukan hukuman mati bagi koruptor
seperti yang di berlakukan di Negara China, tapi untuk tindak pidana korupsi
yang merugikan negara dalam jumlah besar seharusnya diberi hukuman seumur hidup
dan tanpa remisi ataupun grasi. Agar terjadi efek jera dan juga sebagai
pelajaran bagi pejabat-pejabat baru.
Selain hukum yang masih lemah terjadinya korupsi di
Indonesia juga didukung dengan aparat hukum yang korup mulai dari Kepolisian,
Kejaksaan, hingga Pengadilan. Kepolisian bisa menghentikan penyelidikan bila
koruptor mampu menyuapnya. Dan apabila tidak, Kejaksaan dapat mengeluarkan
Surat Pemberhentian Penyidikan Perkara (SP3) bila ada uang suap dari koruptor.
Apabila masih berlanjut ke Pengadilan vonis yang jatuh pasti akan ringan bahkan
bebas bila hakim berhasil disuap . Hal ini menyebabkan mudahnya para pejabat
yang terjerat kasus korupsi untuk membebaskan diri dari jeratan hukum dengan
jalan menyuap dari hasil uang korupsi. Sehingga sebanyak apapun Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) melimpahkan kasus korupsi ke pihak kepolisian akan
menjadi percuma. Bahkan beberapa waktu lalu ada upaya pelemahan KPK oleh
institusi hukum lain yang takut diselidiki mengenai kasus korupsi di dalamnya.
Mental para pemimpin dan pejabat yang ada di Indonesia
sebenarnya merupakan faktor terpenting yang menyebabkan korupsi masih terjadi
hingga saat ini. Kebanyakan pemimpin dan pejabat yang memimpin saat ini adalah
hasil didikan pada masa orde baru yang sangat korup sehingga mental mereka
masihlah mental korup. Dan sepertinya korupsi masih akan terus terjadi apabila
para pemimpin masih berasal dari generasi pemimpin saat ini.
Bagaimana
Cara Untuk Mengatasi Korupsi Di Indonesia
Ada beberapa cara untuk mengatasi korupsi di
Indonesia yaitu :
a.Adanya
kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi
politik dan kontrol sosial, dengan tidak bersifat acuh tak acuh. Kesadaran
rakyat dalam memilih pemimpin sesuai dengan hati nurani yang dianggap paling
baik dan tidak menerima suap merupakan salah satu langkah untuk menghindari adanya
kasus korupsi.
b.Menanamkan
aspirasi nasional yang positif, yaitu dengan mengutamakan kepentingan nasional.
Penanaman nasionalisme sejak dini pada generasi penerus bangsa juga sangat
diperlukan agar mereka mencintai bangsa dan Negara Indonesia diatas kepentingan
sendiri sehingga kelak jika menjadi pemimpin ia akan menjadi sesosok pemimpin
yang memikirkan bangsa Indonesia diatas kepentingan pribadinya.
c.Para
pemimpin dan pejabat memberikan tauladan, memberantas dan menindak korupsi.
Para pemimpin saat ini haruslah menjadi tauladan yang baik bagi penerus bangsa,
yaitu sesosok pemimpin yang jujur, adil, dan anti korupsi, serta berupaya keras
dalam membongkar dan memberikan sanksi yang tegas kepada para pelaku korupsi,
bukan malah sebaliknya.
d.Adanya
sangsi kekuatan untuk menindak, memberantas, dan menghukum tindak korupsi.
Sanksi yang tegas dan tidak memihak memang sangat diperlukan dalam menangani
kasus korupsi di Indonesia. Para pelaku
korupsi harus dijatuhi hukuman setimpal yang dirasa dapat memberikan efek jera
takut baik bagi pelaku maupun orang lain
yang akan melakukan tindakan korupsi.
e.Pentingnya
ajaran agama, kasus korupsi seperti sekarang ini sebenarnya tidak akan terjadi
apabila semua pemimpin atau birokrasi pemerintahan mempunyai landasan agama
yang kuat. Dalam semua ajaran agama pastinya melarang perbuatan korupsi.
Korupsi sama saja dengan mencuri, mencuri uang rakyat dan menyengsarakan
mereka. Hal tersebut memrupakan perbuatan dosa yang dapat membawa kita kelembah
kesengsaraan yaitu neraka. Darah dan tubuh dari pelaku korupsi beserta anggota
keluarga yang menikmati harta hasil korupsi tersebut telah tercemari oleh
makanan haram hasil korupsi yang tidak akan berkah dalam menjalani kehidupan
sehari-hari. Jika seseorang memiliki landasan agama yang kuat, mereka pasti
tahu dan akan takut melakukan perbuatan korupsi sehingga secara otomatis mereka
akan menjauhi perilaku ini dengan
sendirinya tanpa perlu adanya paksaan dan pengawasan khusus, sebab
mereka telah merasa diawasi Tuhan Yang Maha Kuasa. Maka dari itu pendidikan
agama dan penanaman iman dan takwa
sangat diperlukan guna mengurangi atau bahkan menghilangkan terjadinya kasus
korupsi yang sekarang ini kian merajalela di Indonesia.
f.Pentingnya
peran pendidikan, terlepas dari masalah korupsi itu sebagai budaya atau bukan
yang jelas peran pendidikan akan dapat
membantu menigkatkan ketahanan masyarakat dalam menghadapi dan memberantas
korupsi. Pendidikan merupakan intrumen penting dalam pembangunan bangsa baik
sebagai pengembang dan peningkat produktifitas nasional maupun sebagai
pembentuk karakter bangsa. Buruknya manusia dapat tranformasikan kedalam hal
yang positif melalui pendidikan, karena pendidikan ialah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara
PENUTUP
Kesimpulan
Korupsi
yang terjadi di Indonesia disebabkan mental pemimpin yang buruk. Jadi walaupun
sebaik apapun sistem pemerintahan, setegas apapun hukum, dan sebersih apapun
aparat akan percuma bila mental pemimpin dan pejabat negeri ini masih buruk dan
korupsi pasti masih akan terus lestari. Untuk itu sekarang kita harus
menyadarkan para pemimpin untuk memperbaiki mentalnya, dan apabila sudah tidak
dapat diperbaiki maka sebaiknya untuk diganti dengan pemimpin yang amanah dan
bermental baik serta siap susah demi rakyat. Kita sebagai generasi muda calon
pemimpin bangsa sudah seharusnya menjaga hati dan mental agar tetap jujur dan
tidak berubah menjadi mental koruptor.
Harapan
Kita sebagai mahasiswa (tidak semua orang bisa menuntut ilmu diperguruan tinggi) harus bersukur dan bersungguh-sungguh dalam
menutut ilmu kita, karena ditangan kitalah nasib negara ini mau dibawa kearah mana, apakah
menjadi Negara yang menempati pringkat tertinggi di dunia dalam prestasi atau
malah menjadikan negara ini lebih korup dari yang sekarang ini.
Dengan
kita belajar pendidikan anti korupsi diharapkan kita dapat mempelajari,
memahami, mencegah, serta tidak melakukan tindak korupsi. Dengan begitu
generasi muda dimasa yang akan datang akan memiliki mental dan moral yang baik diantara penerapannya sebagai
pemimpin dan lain-lain, bukan mental atau moral koruptor seperti dalam sejarah
korupsi Indonesia yang membudaya sejak dahulu sebelum dan sesudah kemerdekaan
,diera orde lama, orde baru dan era reformasi.